Ironi Penghargaan Keterbukaan Informasi: Pemkab Labuhanbatu Dinilai Tak Layak Menyandang Predikat Informatif

Bagikan Berita

 

Labuhanbatu | Liputanresolusi.com

Penghargaan Badan Publik Informatif yang disematkan Komisi Informasi Provinsi Sumatera Utara kepada Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Labuhanbatu justru memantik kontroversi. Di balik piagam dan seremoni, fakta di lapangan menunjukkan keterbukaan informasi publik di Labuhanbatu masih bermasalah dan sarat sengketa.

 

Alih-alih mudah diakses, sejumlah dokumen publik penting justru hanya bisa diminta melalui jalur gugatan. Warga Labuhanbatu, Arif Hakiki Hasibuan dan Rahmad Sukur Siregar, mengungkapkan bahwa permohonan informasi yang mereka ajukan sejak 2023 tidak ditanggapi sebagaimana mestinya, sehingga berujung sengketa di Komisi Informasi Sumatera Utara hingga Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Medan.

“Jika Labuhanbatu benar-benar informatif, kami tidak perlu menempuh jalur sengketa hanya untuk mendapatkan dokumen publik,” tegas Arif, Kamis (18/12).

 

Dokumen Publik yang Ditutup Rapat

Dokumen yang dimohonkan bukanlah informasi rahasia negara, melainkan dokumen yang secara hukum wajib dibuka. Di antaranya:

Proses seleksi dan pengangkatan Sekretaris Daerah (Sekda) Labuhanbatu tahun 2023

Dokumen administrasi kepegawaian di Badan Kepegawaian, Pendidikan dan Pelatihan (BKPP)

Data penggunaan anggaran hibah tahun 2022 hingga 2024

Dalam beberapa perkara, Pemkab Labuhanbatu bahkan telah dinyatakan kalah dan diwajibkan menyerahkan dokumen tersebut. Namun hingga kini, sebagian putusan belum sepenuhnya dijalankan.

 

Kondisi ini memperlihatkan kontras tajam antara klaim keterbukaan dengan praktik birokrasi yang masih tertutup.

 

Penghargaan Dipertanyakan

Pemberian penghargaan oleh Komisi Informasi Sumut pun dipertanyakan. Menurut pemohon, proses penilaian lebih menitikberatkan pada pengisian kuesioner dan kelengkapan administratif, bukan pada pengalaman nyata masyarakat dalam mengakses informasi.

 

“Nilai bisa sempurna di atas kertas, tapi realitasnya banyak dinas tidak terbuka dan tidak responsif,” ujar Rahmad.

 

Penghargaan yang seharusnya menjadi simbol keberhasilan justru dinilai prematur dan tidak mencerminkan kondisi objektif pelayanan informasi publik di daerah.

 

Transparansi Masih Jadi Slogan

Fakta bahwa sengketa informasi masih berlangsung saat penghargaan diberikan memperkuat dugaan bahwa keterbukaan informasi di Labuhanbatu belum menjadi budaya birokrasi, melainkan sebatas formalitas.

 

Transparansi sejatinya bukan tentang piagam, tetapi keberanian membuka dokumen tanpa harus dipaksa melalui gugatan. Selama putusan sengketa tidak dijalankan dan dokumen publik tetap sulit diakses, predikat informatif patut dipertanyakan.

“Penghargaan seharusnya menjadi cermin kejujuran, bukan tirai yang menutupi persoalan,” pungkas Arif.

(Tim)

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You cannot copy content of this page